Makan Ala Islam (Bagian 2)

Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi

Makan atau minum dengan tangan kiri, bagi kebanyakan orang, sudah menjadi hal yang biasa. Namun dalam Islam, perbuatan jelek ini bukan permasalahan yang ringan. Setidaknya, makan dan minum dengan tangan kiri adalah perbuatan yang menyerupai setan. Sehingga merupakan perkara yang penting untuk mengajari anak bagaimana makan dan minum sesuai tuntunan Nabi, karena bila terlambat melakukannya, anak akan susah dibetulkan.

Pada edisi yang telah lewat dengan judul Makan Ala Islam, kita mengetahui betapa sempurna agama Allah dan betapa indah ajarannya, yang tentu tidak dimiliki oleh agama lain. Keindahan itu akan bisa dirasakan apabila seseorang kembali kepada jalan Rasulullah n dan jalan para shahabat beliau di dalam memahami, mengamalkan dan mendakwahkan Islam.

Orang banyak berceloteh dan menyuarakan harus kembali kepada Islam yang kaffah (sempurna), namun kenyataannya mereka tetap mendahulukan akal daripada agama, lebih mendahulukan perasaan, adat istiadat, ajaran nenek moyang, ajaran imam jamaah tertentu, bahkan mendahulukan konsep-konsep dari Barat yang jelas bertentangan dengan norma-norma Islam. Ternyata kaffah yang mereka maukan tidak seperti yang dimaukan oleh para Ulama Salaf seperti Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abul ‘Aliyah, ‘Ikrimah, Rabi’ bin Anas As-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Qatadah dan Adh- Dhahhak yaitu Islam yang bersifat menyeluruh yang dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir dengan perkataan: “Mereka diperintahkan untuk melaksanakan seluruh cabang keimanan dan seluruh anjuran syariat. Dan (cabang-cabang keimanan) banyak sekali dan (mereka masuk ke seluruhnya) sesuai dengan kesanggupan mereka.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/308)

Beliau mengatakan: “Allah memerintahkan kepada segenap hamba-Nya yang beriman dan yang membenarkan risalah Rasulullah n agar mereka mengambil seluruh sendi Islam, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya sesuai dengan kesanggupan mereka (kesanggupan menurut syariat).” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/307)

Termasuk keindahan dan kesempurnaan agama adalah adanya aturan-aturan dan adab di dalam makan dan minum. Di antara adab-adabnya antara lain:

Makan Secara Berjamaah
Sudah barang tentu bahwa termasuk yang dicintai oleh Allah I adalah makan berjamah karena makan dengan cara ini akan menyebabkan turunnya barakah dari Allah I. Rasulullah n bersabda sebagaimana dalam riwayat Jabir z:

“Makanan yang paling dicintai oleh Allah adalah bila banyak tangan (berjamaah pada makanan tersebut).”1

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Dari Wahsyi bahwa mereka (para shahabat) berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak pernah kenyang?” Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Jangan-jangan kalian makan berpencar?” Mereka menjawab: “Iya.” Beliau bersabda: “Berjamaahlah kalian pada makan kalian dan bacalah nama Allah niscaya Allah akan menurunkan barakah.”2

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Dari Samurah bin Jundub, ia berkata: “Di saat kami bersama Rasulullah n, kami saling bergantian menyantap hidangan di sebuah tempayan sepuluh orang-sepuluh orang, mulai dari pagi hari sampai malam hari. Kami berkata: “Darimana bertambah dan banyak?” Beliau berkata: “Kenapa kamu heran! Tidak ada yang menjadikannya bertambah banyak melainkan dari sini (beliau mengisyaratkan tangannya ke langit).”3

Demikianlah bimbingan Rasulullah n dalam masalah makan secara berjamaah. Hadits ini di samping menjelaskan tentang  fadhilah (keutamaan) makan secara berjamah, juga menjelaskan tentang keutamaan bersatu.

a.    Adab Menyantap Hidangan
1.    Makan dan minum dengan tangan kanan
Makan dan minum dengan tangan kanan adalah wajib, dan berdosa bila seseorang makan dan minum dengan tangan kiri karena beberapa perkara:
Pertama, menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, dan menyelisihi perintah Allah dan Rasulullah n termasuk dari dosa besar. Allah I berfirman:

“Apa saja yang datang dari Rasulullah maka ambillah dan apa saja yang dilarangnya maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Apa yang aku larang kalian maka tinggalkanlah, dan apa yang aku perintahkan kalian, maka kerjakanlah sesuai dengan kesanggupan kalian.”4

“ Dijadikan rendah dan hina orang-orang yang menyelisihi perintahku.”5

Kedua, mengikuti langkah-langkah setan dan tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka.
Allah berfirman:

“Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi  kalian.” (Al-Baqarah: 168)
Rasulullah n bersabda, bahwa Allah berfirman:

“Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-Ku dalam keadaan seluruhnya lurus dan sesungguhnya setan telah mendatangi mereka lalu menyesatkannya dari agama mereka, (dengan cara) mengharamkan apa yang Aku halalkan bagi mereka dan memerintahkan mereka untuk menyekutukan-Ku dengan apa yang  tidak pernah Aku turunkan keterangannya.”6

Ketiga, tasyabbuh dengan akhlak orang-orang kafir. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka.”7

Demikianlah beberapa ayat dan hadits Rasulullah n  yang menjelaskan tentang bahayanya seseorang menyelisihi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, dan bila dia menyelisihi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mesti akan menjadi atba’ (pengikut) para setan karena Allah mengatakan:

“Tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan, bagaimana kalian bisa dipalingkan.” (Yunus: 32)

Di antara dalil yang menjelaskan wajibnya makan dengan tangan kanan dan haramnya makan dengan tangan kiri adalah sebagai berikut:

“Apabila salah seorang dari kalian makan, maka hendaklah makan dengan tangan kanan dan apabila dia minum, minumlah dengan tangan kanan. Karena setan apabila makan dia makan dengan tangan kiri dan apabila minum, dia minum dengan tangan kiri.”8

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan kepada ‘Umar bin Abi Salamah :

“Hai nak, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kanan…”9
Rasulullah n berkata kepada seorang wanita yang sedang makan dengan tangan kirinya:

“Jangan kamu makan dengan tangan kiri, sesungguhnya Allah telah menjadikan bagimu tangan kanan atau beliau berkata: Sungguh Allah telah memberimu tangan kanan.”10

Bagi kedua orang tua dan para murabbi (pengajar) hendaklah memperhatikan anak didiknya dan hendaklah menjadi suri teladan yang terbaik bagi mereka. Jadilah orang yang pertama kali melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Karena kebanyakan orang tua atau murabbi justru menjadi madrasah awal bagi sang anak untuk berani berbuat durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya n, kecuali orang-orang yang diberikan taufiq oleh Allah.

Diwajibkan bagi mereka setelah memberikan contoh yang baik untuk membimbing anak-anak didik tersebut  ke jalan ridha Allah, untuk menegur mereka bila makan dan minum dengan tangan kiri, karena yang demikian itu termasuk dari akhlak dan adab yang tidak baik. Semua itu akan menggiring mereka menuju akhlak yang baik dan terpuji sedini mungkin. Karena pendidikan akhlak yang baik dan memperhatikan adab yang shalih akan mudah mendapatkan tanggapan positif dari sang anak.

2. Makan dari arah pinggir dan di sekitarnya
Makan dari arah pinggir atau tepi dan memakan apa yang ada di sekitarnya (yang paling dekat dengannya) merupakan bimbingan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, dan pada bimbingan beliau terkandung barakah serta merupakan penampilan adab yang baik. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Jika makanan diletakkan, maka mulailah dari pinggirnya dan jauhi (memulai) dari tengahnya, karena sesungguhnya barakah itu turun di tengah-tengah makanan.”11
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berkata kepada ‘Umar bin Abi Salamah:

“Wahai anak! Sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kanan dan makanlah yang ada di sekitarmu (di dekatmu).”

Hadits ini menjelaskan tentang tidak bolehnya menjulurkan tangan dan badan sehingga mengganggu yang lain. Hendaknya ia meminta agar diambilkan oleh saudaranya apa yang diinginkannya. Dikecualikan dalam hal ini -artinya boleh dia makan yang bukan di sekitarnya- pada dua keadaan, sebagaimana yang telah disebutkan oleh para ulama:

Pertama, apabila dia mengetahui bahwa yang hadir tidak mempedulikan hal itu atau tidak marah, maka diperbolehkan. Anas bin Malik z bercerita:

“Seorang penjahit mengundang Rasulullah n untuk makan, lalu aku pergi bersama Rasulullah n dan aku melihat beliau mencari-cari labu di pinggir nampan.”12

Kedua, apabila ada lauk pauk yang beraneka ragam dan tidak akan sampai tangannya melainkan dengan mengulurkannya.13

3.    Duduk saat makan
Islam mengajarkan bagaimana cara duduk yang baik ketika makan yang tentu hal itu telah dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Sifat duduk Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ketika makan telah diceritakan oleh Abdullah bin Busr :

“Nabi memiliki sebuah qash’ah (tempat makan/ nampan) dan qash’ah itu disebut Al-Gharra` dan dibawa oleh empat orang. Di saat mereka berada di waktu pagi, mereka Shalat Dhuha, lalu dibawa  qash’ah tersebut –dan padanya ada tsarid (sejenis roti)–  mereka mengelilinginya. Tatkala semakin bertambah (jumlah mereka), Rasulullah n duduk di atas kedua betis beliau. Seorang A’rabi (badui) bertanya: “Duduk apa ini, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku dijadikan oleh Allah sebagai hamba yang dermawan dan Allah tidak menjadikan aku seseorang yang angkuh dan penentang.”14

Kenapa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam duduk dengan jatsa (di atas kedua lutut dan kaki)? Ibnu Baththal mengatakan: “Beliau melakukan hal itu sebagai salah satu bentuk tawadhu’ beliau.” (Fathul Bari, 9/619)

Makan dengan Cara Muttaki`
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Aku tidak makan dengan cara muttaki`.”15

Apa yang dimaksud dengan muttaki`?
Terjadi khilaf di kalangan para ulama tentang maknanya. Ada yang mengatakan: “Rakus dalam makan, bagaimanapun sifat duduknya.” Di antara mereka ada yang mengatakan: “Duduk di atas lambung sebelah.” Di antara mereka ada yang mengatakan: “Bertopang dengan tangan kirinya ke tanah.” Ada yang mengatakan: “Tidur terlentang.” (lihat Fathul Bari, 9/619)

Asy-Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali merajihkan (menguatkan) pendapat yang mengatakan bahwa muttaki` adalah tidur di atas lambung sebelah, beliau mengatakan, ini adalah makna yang benar dan dikuatkan dengan ucapan seorang shahabat.  Tadinya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam duduk muttaki` lalu beliau duduk, artinya miring di salah satu lambung dan makna yang disebutkan oleh Al-Khaththabi adalah marjuh (tidak kuat).” Lihat Bahjatun Nazhirin no.746, 2/62)

Bagaimana Hukum Makan dengan Cara Ini?
Terjadi khilaf di kalangan ulama salaf tentang permasalahan ini. Ibnu Qash mengatakan bahwa ini merupakan kekhususan bagi Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Al-Baihaqi mengomentari ucapannya: “Juga dimakruhkan bagi selain Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam karena makan dengan cara demikian merupakan penampilan orang-orang yang menyombongkan diri dan perbuatan raja-raja Romawi.”

Al-Imam An-Nawawi  mengatakan makruh makan dengan cara muttaki`. Disebutkan alasan dimakruhkannya oleh Ibrahim An-Nakha’i dengan mengatakan: “Mereka membenci makan dengan muttaki` karena akan mengakibatkan perut menjadi besar.”

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Khalid bin Al-Walid, ‘Ubaidah As-Salmani, Muhammad bin Sirin, ‘Atha` bin Yasar dan Az-Zuhri tentang kebolehan makan dengan cara demikian.

Al-Hafizh Ibnu Hajar menengahi semua pendapat tersebut dengan mengatakan: “Kalau seandainya hukumnya makruh atau menyelisihi yang lebih utama, maka cara duduk yang disunnahkan ketika makan adalah duduk dengan jatsa. Artinya duduk di atas kedua lutut dan kedua punggung kaki, atau mendirikan kaki yang kanan dan duduk di atas kaki kiri.” (lihat Fathul Bari, 9/620)
Wallahu a’lam.


1 Diriwayatkan oleh Abu Ya’la di dalam Musnad-nya dan selain beliau dan hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 2/562, no. 895

2 Dikeluarkan oleh Ibnu Majah no. 3286 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya di dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah, 2/228, no. 2657 dan di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 2/268, no. 664

3 Diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi no. 3886 beliau berkata: “Hadits shahih hasan.” Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam kitab beliau Al-Jami’ush Shahih (4/188) dengan mengatakan haditsnya shahih berdasarkan syarat kedua syaikh (Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi no 2866, 3/192 dan di dalam kitab Al-Misykat no. 5958.

4 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairahz

5 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari di dalam Shahih beliau secara mu’allaq (bersambung sampai ke shahabat) dan Al-Imam Ahmad di dalam Musnad beliau no. 4868 dari shahabat Ibnu ‘Umar c.

6 Dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 5109 dari shahabat ‘Iyadh bin Himar z

7 Dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 3513 dan Al-Imam Ahmad no. 5409 dari shahabat Ibnu ‘Umar c

8 Dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 5332 dari shahabat Ibnu ‘Umar c

9 Dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5376, Al-Imam Muslim no. 3736, Al-Imam Ahmad no. 15738 dan Al-Imam Ibnu Majah no. 3258.

10 Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad no. 16756  dari seorang imra`ah shahabat Nabi (istri shahabat), dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Jilbabul Mar`ah Muslimah, hal. 71 cet. Maktabah Al-Islamiyah.

11 Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah no. 3277 dari shahabat Ibnu ‘Abbas dan Al-Imam Ahmad no. 3268 dari shahabat Abdullah bin Bisir Al-Mazini, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2650 dan di dalam kitab  Al-Irwa`ul Ghalil no. 1980 dan 1981, 7/34-39, Al-Misykat no.4211 dan Ash-Shahihah no. 393

12 Dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5379 dan Muslim

13 Memang ada hadits yang menjelaskan hal ini dalam riwayat At Tirmidzi namun haditsnya lemah, demikianlah istimbat (pengambilan hukum) ulama dan ijtihad mereka.

14 Dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan beliau no. 3773 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3207 dan di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3263

15 Dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5398, Al-Imam At-Tirmidzi no. 1753,  Al-Imam Abu Dawud, Al-Imam Ibnu Majah no. 3253, Al-Imam Ahmad no. 18005 dan Al-Imam Ad-Darimi no. 1982 dari shahabat Abu Juhaifah

Sumber asli

Tinggalkan komentar